RUU TNI telah disahkan pada 20 Maret 2025 lalu. Sayangnya, RUU TNI yang digadang-gadang dapat mengembalikan dwifungsi ABRI tersebut rupanya berdampak pada berbagai aspek, salah satunya dalam pengasuhan.
Berkaca dari negara-negara militer seperti Korea Utara, Vietnam, dan lain sabagainya, peraturan yang yang diterapkan cukup kontroversial dan berpotensi menimbulkan penanaman pola pikir ketakutan pada anak yang kurang baik. Misalnya saja, sesimpel aturan potong rambut di Korea Utara dan pemblokiran kritikus di vietnam yang sangat membatasi hak-hak untuk berekspresi.
Jika diplementasikan, akan ada ketidakseimbangan dalam pendidikan dan kebebasan dalam berfikir. Jika aturan dalam RUU tersebut cenderung menanamkan rasa takut atau mengekang kebebasan berekspresi, ada kemungkinan anak-anak akan tumbuh dalam lingkungan yang lebih takut untuk berpikir kritis.
DAMPAK REVISI UU TNI TERHADAP PEMBENTUKAN POLA PIKIR ANAK
Pembatasan Ruang Diskusi dan Ekspresi: Kehadiran militer dalam institusi sipil dapat menciptakan atmosfer yang kurang kondusif untuk diskusi terbuka. Sebagai contoh, di Negara Vietnam pemerintah tidak segan-segan untuk membatasi ruang diskusi melalui pembatasan Internet dan juga kebebasan PERS. Itu artinya, akan mengurangi eksistensi media-media edukasi pengasuhan seperti parenthings official dan media edukasi lainnya, terlebih jika konten artikel mengandung critical thinking, karena anak dididik untuk tidak melakukan perlawanan terhadap kewenangan penguasa. Tak hanya itu, kebebasan berekspresi sesimpel potong rambut pun bisa saja ada aturannya. Hal tersebut tentu tidak objektif, karena antara kepribadian, kecerdasan tidak ada sangkut pautnya dengan model rambut.
Penurunan Kemampuan Berpikir Kritis: Jika anak-anak dibesarkan dalam lingkungan yang menekankan kepatuhan tanpa ruang untuk bertanya atau berdiskusi, mereka mungkin kurang terlatih dalam menganalisis informasi secara mendalam dan mengambil keputusan berdasarkan pemikiran yang matang.
Ketimpangan Akses Pendidikan Berkualitas: Perubahan kebijakan yang tidak mempertimbangkan keragaman latar belakang sosial-ekonomi dan budaya dapat memperbesar kesenjangan dalam akses terhadap pendidikan yang berkualitas.
Di Indonesia, tantangan pendidikan juga tidak kalah kompleks. Harapan besar terhadap dunia pendidikan sering kali tidak sejalan dengan kenyataan. Orang tua ingin anak-anak mereka mendapatkan pendidikan terbaik, tetapi dalam praktiknya, kesejahteraan pendidik sering kali diabaikan. Dalam dunia akademik, sistem yang lebih menitikberatkan pada metrik dan hirarki juga berkontribusi pada berkurangnya ruang bagi para akademisi untuk benar-benar mengembangkan bidang keahlian mereka. Pada akhirnya, pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mencetak individu yang cerdas secara intelektual, tetapi juga membangun kecerdasan emosional bagi generasi mendatang. Pendidikan harus menjadi sarana untuk mencerdaskan anak bangsa, membuka wawasan, serta membentuk manusia yang mampu berpikir kritis demi masa depan Indonesia yang lebih gemilang.